KABARSOLUSI.COM – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berisiko melemah pada perdagangan hari ini, Selasa (19/3/2024) jelang Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia dan FOMC The Fed. Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif pada perdagangan Selasa (19/3/2024), dengan kecenderungan melemah di rentang Rp15.680-Rp15.760 per dolar AS.
Sebelumnya pada Senin (18/3/2024) rupiah ditutup melemah 0,59% ke Rp15.691 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS melemah 0,04% ke 103,39. Sementara itu, mata uang lain di kawasan Asia ditutup mayoritas melemah. Yen Jepang turun 0,03%, dolar Singapura turun 0,02%, dolar Taiwan turun 0,13%, won Korea Selatan turun 0,31%, dan peso Filipina turun 0,05%.
Kemudian rupee India turun 0,01%, yuan China melemah 0,02%, ringgit Malaysia turun 0,30%, dan baht Thailand turun 0,16%. Ibrahim Assuaibi mengatakan sentimen rupiah datang dari data inflasi AS yang kuat pada minggu lalu, yang membuat para pedagang waspada terhadap sentimen hawkish dari The Fed.
Baca juga : Pengadilan Tinggi Banten Mempersembahkan Acara Pengambilan Sumpah Advokat untuk Tahun 2024
Pertemuan The Fed menunggu isyarat penurunan suku bunga lebih lanjut membuat indeks dolar dan indeks dolar berjangka sedikit bergerak di perdagangan Asia pada hari Senin. Meskipun The Fed diperkirakan akan mempertahankan suku bunganya, setiap sinyal mengenai rencana penurunan suku bunga pada tahun 2024 akan diawasi dengan ketat.
Namun, bank sentral juga mungkin akan mengambil tindakan yang lebih hawkish daripada yang diharapkan pasar, terutama karena data terbaru menunjukkan inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan pada bulan Februari. Sementara itu, dari dalam negeri sentimen datang dari surplus neraca perdagangan Indonesia yang diperkirakan berpotensi terus menyempit sepanjang tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2024 mencapai US$870 juta, lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar US$2,02 miliar. Ibrahim menuturkan surplus yang berlanjut hingga Februari 2024 bukanlah kondisi yang sehat. Hal ini tercermin dari penurunan pertumbuhan ekspor yang lebih besar dibandingkan dengan impor.
Tercatat, ekspor Februari 2024 turun sebesar 5,79%, sementara impor turun 0,29% secara bulanan. Lebih lanjut, surplus perdagangan pada Januari dan Februari 2024 yang hanya mencapai US$2,87 miliar secara kumulatif, lebih rendah dari periode yang sama pada 2023, berpotensi menurunkan neraca transaksi berjalan di kuartal pertama 2024. Surplus perdagangan diperkirakan masih akan berlanjut, tetapi cenderung menyempit pada 2024. (ks/dvd)