HFANEWS.COM – Jelang keputusan The Fed terkait suku bunga. Nilai tukar rupiah diprediksi cenderung melemah terhadap dolar AS pada perdagangan hari ini Selasa (31/10/2023)
Rupiah ditutup menguat 0,30% ke level 15.890 per dolar AS pada Senin (30/10/2023). Sementara itu indeks dolar menguat 0,11% ke level 106,49. Mayoritas mata uang Asia lainnya terpantau bergerak bervariasi.
Mata uang yang menguat di hadapan dolar AS adalah Yen Jepang yang naik 0,09%, dolar Singapura menguat 0,15%, dolar Taiwan naik 0,10%, won Korea naik 0,35%, peso Filipina naik 0,17%, ringgit Malaysia menguat 0,26% dan bath Thailand menguat 0,20%.
Baca Juga: Analis: Pertemuan The Fed akan Menaikan Suku Bunga Lebih Tinggi, Rupiah Berisiko Tembus Rp16.000
Sementara itu, mata uang yang melemah adalah dolar Hong Kong turun 0,01%, rupee India melemah 0,02% dan yuan China turun 0,01%.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksikan rupiah dibuka fluktuatif namun ditutup melemah ke level Rp15.870 hingga Rp15.950 per dolar AS hari ini.
“Indeks dolar menguat terhadap mata uang lainnya, mempertahankan sebagian besar kenaikannya dari minggu lalu karena sebagian besar pasar masih khawatir terhadap keputusan suku bunga Fed pada hari Rabu dan Imbal hasil Treasury AS juga menguat pada hari Senin, masih berada dalam jangkauan puncak baru-baru ini,” terangnya.
Sementara itu pasar masih berfokus pada BOJ. BOJ memulai pertemuan kebijakan moneter dua hari pada hari Senin, memimpin minggu ini yang juga akan melihat keputusan suku bunga dari Federal Reserve AS atau The Fed dan Bank of England.
Baca Juga: “Megawati Hanya Tertawa” Melihat Polemik Gibran Jadi Cawapres Prabowo
Fokusnya pasar saat ini adalah pada kesimpulan pertemuan BOJ pada hari Selasa, di mana bank sentral diperkirakan akan mengumumkan perubahan lebih terhadap kebijakan pengendalian kurva imbal hasil lebih lanjut, karena bank sentral tersebut bergulat dengan inflasi yang tinggi.
Para ekonom optimistis bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh di angka 5 persen di tengah adanya dua konflik geopolitik, membuat dinamika global masih diterpa ketidakpastian.
Belum usai konflik antara Rusia-Ukraina, dunia saat ini mengalami turbulensi kembali.
Serangan Hamas ke Israel memicu ketegangan di wilayah Timur Tengah. Pasokan komoditas kembali tersendat. Naiknya harga minyak memberi dampak ke berbagai negara.
Sektor energi dan pangan ini adalah faktor pemicu inflasi secara global. Padahal sebelum ada perang tersebut, tekanan dari inflasi global sudah mulai menurun, namun ternyata semua dikagetkan oleh perang Hamas dan Israel. (HFAN/Arum)