HFANEWS.COM – Rencana pemerintah untuk merealisasikan penghentian operasional sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) lebih cepat dari rencana awal alias pensiun dini kemungkinan cukup sulit.
Sebab alih-alih melakukan opsi penghentian PLTU, Kementerian ESDM dan PT PLN sepakat untuk menerapkan pengurangan secara bertahap penggunaan batu bara alias coal phase down. Hal tersebut diungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi VII DPR, Rabu (16/11/2023).
Semula, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan pihaknya telah merancang 5 skenario dalam upayanya mengejar target net zero emission di 2060. Khususnya yang akan diterapkan di sektor ketenagalistrikan.
Lima skenario tersebut adalah Business as Usual (BAU) Coal-Led, Business as Usual (BAU) Gas-Led, Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down (ACCEL RE Coal Phase Down), Ultra Accelerated Renewable with Coal Phase Down (ULTRA RE Coal Phase Down), Ultra Accelerated Renewable with Coal Phase Out (ULTRA RE Coal Phase Out).
BACA JUGA : Saat Ini Indonesia Sedang Mengembangkan PLTS Terapung
Dari kelima skenario itu, perusahaan memutuskan untuk memilih skenario ketiga yakni Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down. Skenario ketiga ini mempunyai target penambahan pembangkit energi terbarukan sebesar 75% dan gas 25%, yang akan memastikan pengurangan emisi dengan tetap menjaga keandalan sistem.
“Kami sudah mengambil suatu persetujuan bahwa skenario paling feasible yaitu Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Down dan ini juga sejalan dengan sistem modelling yang kami lakukan bersama antara Kementerian ESDM, PLN, dan IEA,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, dikutip Kamis (16/11/2023).
Menurut Darmawan apabila PLN memilih menggunakan skenario pertama maka emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan pada 2040 menjadi 512 juta metrik ton CO2 per tahun. Sementara apabila menggunakan skenario kedua, maka emisi GRK yang dihasilkan turun menjadi 407 juta metrik ton CO2.
Kemudian apabila menggunakan skenario ketiga, emisi yang dihasilkan akan turun menjadi 321 juta metrik ton CO2. Sedangkan untuk skenario keempat dan kelima tidak dipilih karena dinilai tidak feasible.
“Emisi GRK yang tadinya 512 juta ton per tahun bisa diturunkan jadi 321 juta ton per tahun di 2040. Maka dalam hal ini, transisi energi menuju ke NZE tahun 2060 akan menjadi jauh lebih mempunyai pondasi yang cukup kuat dengan redesign RUPTL yang baru,” katanya.
Di dalam skenario ini, PLTU berbasis batu bara masih akan tetap beroperasi hingga masa akhir kontrak. Dengan catatan, terdapat penambahan fasilitas teknologi Carbon Capture Storage (CCS) untuk menekan emisi yang dihasilkan.
Selain penambahan teknologi CCS pada unit PLTU, dalam skenario tersebut, PLN juga akan menambah kapasitas pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) berbasis baseload sebesar 31 Giga Watt (GW).
BACA JUGA : Pak Jokowi Meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Surya PLTS terapung Cirata
Berikutnya, penambahan kapasitas pembangkit EBT yang bersifat intermitten dari PLTS dan PLTB sebesar 28 GW. Lalu kapasitas pembangkit yang berasal dari energi baru misalnya seperti nuklir sebesar 2,4 GW. (hfan/dvd)