KABARSOLUSI.COM – Perpindahan Ibu Kota Negara yang saat ini ibarat kacang lupa kulit. Hal itu seharus tidak boleh terjadi. Sebab, Ibu Kota Negara yang lama (Jakarta) memiliki sejarah besar dalam mengisi kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila, Prof. Arissetyanto Nugroho menyampaikan bahwa pemindahan ibu kota negara baru itu merupakan strategi pemerintah, namun perlu menghormati bekas ibu kota dalam hal ini Jakarta.
“Kita harus menghormati Jakarta sebagai bekas ibu kota negara. Jangan seperti habis manis sepah dibuang. Pepatah ini sungguh berlaku universal. Kini wajah Jakarta leih banyak menjadi coreng-moreng. Lebih banyak meninggalkan luka dan goresan sejarah yang nyaris dilupakan,” kata Aris dalam keterangannya, dikutip Minggu (14/7/2024).
Aris mengatakan, bagi sebagian pelajar, mahasiswa,dosen, birokrat bahkan politisi belum tentu tahu sejak era perjuangan kemerdekaan hingga ere kemerdekaan diploklamirkan tercatat enam kali Indonesia berpindah lokasi ibu kota negara.
“Semua perpindahannya memiliki latar belakang politik yang berbeda-beda. Terakhir ibu kota negara bernama nusantara yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser di Kalimantan Timur. Nusantara menjadi ibu kota negara keenam,” jelas Aris.
Nusantara, lanjut Aris, bak lanskap ibu kota yang terencana lahir dalam dinamikan politik yang relatif stabil dan pertumbuhan ekonomi yang baik.
Baca Juga: Sudah Capai 80%, PTPP: Pembangunan Istana Presiden di IKN Siap Digunakan Upacara 17 Agustus
“Meski penuh pergulatan dan penolakan dari berbagai kalangan, namun Presiden Joko Widodo tak bergeming. Memilih terus melanjutkannya,” ujarnya.
Aris menuturkan bahwa bangsa Indonesia mengalami perpindahan ibu kota negara untuk beberapa kali. Utamanya di masa perjuangan kemerdekaan. Tepatnya sepanjang tahun 1945-1949. Kini ibu kota negara kembali berpindah.
“Dalam neska akademik tentang pemindahan ibu kota yang disusun Bappenas tahun 2020, mencatat sejumlah alasan perpindahan. Pertama jumlah penduduk yang tak terkendali, kerusakan lingkungan, kenyamanan hidup yang menurun serta disparitas pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta,” terangnya.
Menurut Aris pindah ibu kota negara bukanlah hal baru. Setidaknya tercatat 15 negara pernah melakukan pindah ibu kota. Menariknya, kata Aris, perpindahan ibu kota yang dilakukan sejumlah negara itu tidaklah seekstrem Indonesia.
Tentunya, tambah Aris, perpindahan ibu kota negara merupakan peristiwa bersejarah yang perlu terus dikenang. Bukan semata pada makna pemindahan secara geografis, tetapi latar belakang perpindahan yang multidimensi menjadi bekal pengetahuan yang perlu dijaga.
Keberadaan monumen, artetik atau simbol yang unik bisa menjadi pintu masuk peningkatan kunjungan wisata dalam dan luar negeri.
“Saya berharap monumen khusus di eks ibu kota negara menjadi penyambung pengetahuan sekaligus penguat tali sejarah dari generasi ke generasi agar tidak seperti pepatah habis manis sepah dibuang,” tutupnya. (KS/Arum)