KABARSOLUSI.COM – Nilai tukar rupiah mengalami fluktuasi signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam pekan ini. Pada perdagangan terakhir, Jumat (2/3/2024), nilai tukar rupiah ditutup di posisi Rp15.695/US$, mencatat penguatan sebesar 0,095%. Meskipun penguatan ini menghentikan tren pelemahan selama lima hari sebelumnya, dalam rentang satu minggu, rupiah mengalami penurunan sebesar 0,67%. Hal ini mencabut kenaikan yang terjadi selama empat pekan sebelumnya.
Pelemahan nilai tukar rupiah tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal, melainkan juga sentimen eksternal. Faktor-faktor seperti perkembangan di Amerika Serikat (AS), termasuk kebijakan suku bunga, serta arus keluar modal (capital outflow), turut berkontribusi terhadap ketidakstabilan mata uang Indonesia. Keputusan investor asing untuk menjual secara bersih mencapai Rp2,00 triliun dalam beberapa hari terakhir, terbagi antara pasar Surat Berharga Negara, saham, dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Tren pelemahan rupiah juga membuatnya menjadi mata uang terlemah di Asia dalam pekan ini, dengan penurunan sebesar 0,68%. Sebaliknya, beberapa mata uang Asia mampu mencatatkan kenaikan yang signifikan, seperti ringgit Malaysia.
BACA JUGA : Ekspektasi Penurunan Suku Bunga Dukung Kenaikan Saham di Bursa AS
Makin kompleksnya kondisi ekonomi global memberikan tekanan tambahan pada rupiah. Faktor eksternal, seperti melemahnya ekonomi China dan beberapa negara maju, juga turut berkontribusi terhadap pelemahan rupiah. China, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Asia, menghadapi pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan kurang dari 5% tahun ini, dipicu oleh krisis properti dan tingginya tingkat pengangguran pada tahun sebelumnya.
Di sisi lain, negara maju seperti Jepang dan Inggris tercatat mengalami resesi, dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) berada di zona negatif dalam kuartal tiga dan empat secara beruntun. Hal ini menciptakan ketidakpastian ekonomi global, memengaruhi negara-negara yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap ekonomi negara maju.
Dari dalam negeri, kondisi twin deficit Indonesia, baik dari transaksi berjalan maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), turut menyumbang pada pelemahan rupiah. Defisit Transaksi Berjalan mencapai US$1,3 miliar pada kuartal IV-2023, sementara defisit APBN 2023 sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65% dari PDB.
Bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), juga memiliki peran dalam dinamika ini. Meskipun inflasi AS mencapai 3,1% pada Januari 2024, The Fed belum menunjukkan niat untuk memangkas suku bunga, menciptakan ketidakpastian tambahan di pasar keuangan global.
Sejalan dengan itu, data inflasi pengeluaran konsumen pribadi AS menunjukkan pelemahan pada Kamis pekan ini. Meskipun demikian, tingkat inflasi PCE pada Januari lalu masih tetap signifikan, naik 2,4% secara tahunan dan 0,3% secara bulanan.
Kondisi ini menciptakan tantangan ekonomi yang kompleks, dengan banyak variabel baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mempengaruhi nilai tukar rupiah dan stabilitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan. (ks/dvd)