HFANEWS.COM – Upaya mengendalikan konsumsi rokok oleh masyarakat, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, mulai menerapkan pajak untuk rokok elektrik, di samping cukai rokok konvensional, mulai hari ini, Senin (1/1/2024).
Untuk itu, peran para pemangku kepentingan termasuk pelaku usaha rokok elektrik dalam mendukung implementasi kebijakan ini menjadi sangat penting.
“Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% [sepuluh persen] dari Cukai Rokok,” tulis beleid tersebut, dikutip Senin (1/1/2024).
Baca Juga: Merokok adalah Ancaman bagi Masa depan Bangsa
Mengacu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 143/2023 tentang Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok, menyampaikan bahwa dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh pemerintah pusat terhadap rokok termasuk elektrik.
Kemenkeu menyampaikan, pada prinsipnya pengenaan pajak rokok elektrik mengedepankan aspek keadilan, mengingat rokok konvensional dalam operasionalnya melibatkan petani tembakau dan buruh pabrik, yang telah terlebih dahulu dikenakan pajak rokok sejak tahun 2014.
Sepanjang 2023, Bendahara Negara mencatat penerimaan cukai rokok elektrik hanya sebesar Rp1,75 triliun atau 1% dari total penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dalam setahun.
Dalam jangka panjang, penggunaan rokok elektrik berindikasi mempengaruhi kesehatan dan bahan yang terkandung dalam rokok elektrik termasuk dalam barang konsumsi yang perlu dikendalikan.
Baca Juga: Gaprindo Minta Aturan Tentang Industri Tembakau Dicoret dari RPP Kesehatan
Pengenaan cukai rokok terhadap rokok elektrik akan berkonsekuensi pula pada pengenaan pajak rokok yang merupakan pungutan atas cukai rokok (piggyback taxes). Namun, pada saat pengenaan cukai atas rokok elektrik pada 2018 lalu, pemerintah masih memberikan relaksasi untuk tidak mengenakan pajak rokok tersebut.
Hal ini merupakan upaya pemberian masa transisi yang cukup atas implementasi dari konsep piggyback taxes yang telah diimplementasikan sejak 2014 yang merupakan amanah dari UU No. 28/2009.
Nantinya, sesuai dengan beleid yang berlaku, paling sedikit 50% dari penerimaan pajak rokok ini diatur penggunaannya (earmarked) untuk pelayanan kesehatan masyarakat (Jamkesnas) dan penegakan hukum yang pada akhirnya mendukung pelayanan publik yang lebih baik di daerah.
“Penerimaan Pajak Rokok bagian pemerintah daerah provinsi dan bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum,” tulis Pasal 37 beleid tersebut. (HFAN/Arum)