Oleh: Dr. Hardi Fardiansyah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara yang menerapkan demokrasi konstitusional dimana kedaulatan berada di tangan rakyat, namun dilaksanakan sesuai supremasi hukum. Demokrasi dan supremasi hukum saling berdampingan dan tidak mendahului satu sama lain. Konsep tersebut dilandasi berlakunya Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Konsep pemilihan umum wakil rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali sebagaimana mandat Pasal 22E ayat (1) UUD Tahun 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemilu yang demikian baru bisa terwujud bila pemilih memberi suaranya sesuai informasi yang memadai dan benar.
Sebagaimana diketahui, pemilu serentak dan pemilihan kepala daerah (pilkada/pemilihan) selanjutnya akan dilaksanakan pada tahun 2024. Di mana dalam satu tahun, masyarakat akan menggunakan hak pilihnya dengan begitu banyak calon pejabat publik. Dalam pemilu sendiri akan terdapat pasangan calon presiden dan wakilnya; 575 anggota DPR, 2.207 anggota DPRD Provinsi; 17.610 anggota DPRD Kabupaten/Kota; dan 136 anggota DPD.
Sedangkan dalam pilkada akan terdapat 33 gubernur, 415 bupati, dan 93 walikota yang dipilih. Pemilu 2024 tetap menggunakan UU Pemilu yang sama dengan penyelenggaraan Pemilu 2019, sehingga tidak menutup kemungkinan akan menghadapi tantangan, kerumitan yang sama dengan yang dihadapi dalam Pemilu 2019. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa model pemilu serentak yang diterapkan pada Pemilu 2019, juga akan berlaku untuk Pemilu 2024. Hanya saja, untuk Pemilu 2024, juga berdampingan dengan Pilkada/Pemilihan Serentak Tahun 2024.
Pemilihan umum (pemilu) termasuk juga pemilihan kepala daerah (pilkada/pemilihan) secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemilu dan pilkada secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Baca Juga: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Menyoroti Kasus KDRT yang Dialami Dokter Qory
Pelaksanaan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden setelah Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena terdapat kelemahan dalam penyusunan kebijakan pelaksanaan Pemilihan Umum serentak. Putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya diikuti oleh proses penyusunan kebijakan berbasis bukti dengan data yang kuat dan berdasarkan simulasi terhadap penyelenggaraan.
Dengan demikian, beban penyelenggaraan Pemilihan Umum dapat diidentifikasi sejak awal dan langkah-langkah untuk meminimalisasi resiko dapat dipikirkan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian yang tidak kalah penting adalah perlu dievaluasi mengenai persoalan integritas penyelenggara atau peserta Pemilihan Umum, misalnya dengan memperketat sistem rekrutmen, sehingga dapat mewujudkan Pemilihan Umum serentak yang berintegritas di masa yang akan datang.
Mewujudkan Pemilu Damai 2024
Agenda politik yang berskala nasional akan berlangsung secara beriringan, dimulai dari Pilkada serentak yang dilaksanakan pada tahun 2018. Pemilihan umum di Indonesia menganut azas “LUBER” yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Azas “Luber” sudah ada sejak zaman Orde Baru. Pemilu di Indonesia pada tahun 2024 nanti merupakan Pemilu yang paling rumit dan membutuhkan biaya paling mahal. Pada Pemilu ini, melibatkan sebanyak jutaan petugas Pemilu, biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pesta demokrasi menggunakan biaya tidak sedikit, bahkan puluhan triliun digelontar untuk itu.
Baca Juga: IHSG Menguat Tipis ke Level 6.962, Saham Milik Konglomerat Prajogo Pangestu Paling Laris
Perhelatan politik akbar bangsa Indonesia di bidang politik tersebut sangat mengandung potensi konflik di masyarakat, sehingga perlu diwaspadai dan diantisipasi oleh TNI dan Polri. Potensi ancaman pada Pilnas tahun 2019 diperkirakan sangat beragam, dimulai dari kemungkinan terjadinya gangguan keamanan yang bersumber dari tarik-menarik kepentingan antar kekuatan politik, kompetisi politik antar elit politik dan pertarungan antar partai politik. Mobilisasi massa dan pengerahan massa di tingkat akar rumput/grass root, yang dilakukan oleh semua politisi, partai politik, elit politik, tim sukses, Caleg, maupun para pendukung pasangan calon dalam Pilpres dan Pileg sangat berpotensi melahirkan konflik sosial, hal ini tidak kalah pentingnya sebagai salah satu potensi masalah yang dapat terjadi pada tahapan Pilpres dan Pileg selain permasalahan administrasi. Masalah dan persoalan yang ada meskipun sederhana tetap harus diantisipasi, terlebih lagi jika dihadapkan dengan kondisi logistik, personel, serta prosedur dalam bekerja. Sedangkan potensi masalah dari luar dapat berupa cyber attack, hastag-hastag (tagar) yang menimbulkan suasana kebencian dan pembajakan sistem teknologi informasi (TI). Seluruh potensi ancaman gangguan keamanan tersebut harus dihadapi dalam rangka mewujudkan pemilu damai dan stabilitas nasional.
Kesiapan aparat keamanan dinilai sangat penting agar pemilu 2024 mendatang dapat berjalan lancar tanpa adanya gangguan keamanan. Stabilitas keamanan nasional harus dijaga dalam perhelatan pemilu 2024. Untuk itu, keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam mengantisipasi berbagai potensi kerawanan yang akan terjadi menjelang dan selama penyelenggaraan Pilpres dan Pileg menjadi penting. Artinya selain Polri, TNI juga perlu terlibat di Pilnas baik Pilpres dan Pileg dalam hal menjaga stabilitas keamanan nasional. Kerja sama yang baik antara TNI, Polri, Mahasiswa dan Aliansi Relawan Indonesia Bersatu akan membuat penyelenggaraan Pilpres dan Pileg dapat berjalan secara kondusif, sehingga pesta demokrasi dapat berjalan secara langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil.
Peran Mahasiswa
Mahasiswa bagaimanapun adalah kelompok sosial yang istimewa di tengah masyarakat Indonesia. Selain peran TNI dan Polri, Mahasiswa dianggap memiliki peranan historis yang signifikan dalam sejarah bangsa ini, terutama sebagai penyambung lidah rakyat yang dipercaya masih begitu jujur, idealis, dan bersih dari tunggangan kepentingan golongan ketimbang para elite politikus yang sudah terlalu sering membohongi masyarakat. Namun, ternyata di tengah golongan masyarakat intelektual ini wacana apatisme terhadap proses politik semacam pemilihan umum yang mengarah pada pilihan menjadi golongan putih justru cukup tinggi.
Dalam istilah agent of change, agent of social control, and iron stock dengan gamblang menunjukkan tugas historis mahasiswa sebagai agen yang mewakili masyarakat untuk mengontrol dan mengawasi berbagai kebijakan pemerintah, pelopor terwujudnya perubahan sosial yang lebih baik, serta sebagai calon penerus generasi kepemimpinan bangsa di masa mendatang. Selain itu Mendiang Soe Hok Gie, tokoh angkatan 1966, pernah menegaskan konsep moral force sebagai batasan perjuangan yang harus dipegang teguh dan mewaspadai agar tak terjebak dalam political force. Maksudnya peranan mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat haruslah sebagai gerakan moral yang bangkit di kala hadirnya momentum ketidakadilan dan kesewenangan penguasa, setelah perubahan dicapai mahasiswa harus kembali ke kampus dan tidak menjadi gerakan politik yang secara langsung ikut ambil bagian kekuasaan, karena gerakan mahasiswa harus murni dan netral terhadap kepentingan politik agar ketajaman nalar kritisnya tetap terjaga.
Baca Juga: ESDM Tawarkan WPSPE Panas Bumi di Daerah Rongkong, Luas Blok Capai 43.690 Hektare
Sudah tidak dapat kita pungkiri, saat ini idealisme seorang mahasiswa sedang diuji. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 ini seakan-akan menjadi suatu masa yang menjadi kepentingan politik bagi penguasa dan mahasiswa menjadi lumbung suara yang menggiurkan bagi setiap calon legislatif mendatang yang akan maju untuk calon legislatif 2024. Mahasiswa sebagai satu “pilar” penegak demokrasi yang juga bagian dari pemilih dan memiliki nalar intelektual tinggi, justru sangat mudah untuk mempengaruhi masyarakat banyak. Seharusnya mahasiswa dapat memberikan pemahaman demokrasi kepada masyarakat melalui sebuah proses yang dinamakan pemilu.
Peran Relawan Politik
Era reformasi memungkinkan lahirnya ratusan organisasi relawan politik di Indonesia. Geliat politik di Indonesia setelah reformasi dimeriahkan oleh kelompok-kelompok relawan. Mereka lahir dan tumbuh karena dukungan kepada pihak tertentu, meski bergerak lebih mandiri.
Relawan politik bukan bagian dari anggota partai politik. Kehadiran para relawan bukan karena daya tarik partai politikmelainkan kepada politik nilai yang melampaui kepentingan partai. Bahkan, kehadiran relawan politik dapat disinergikan dengan tim sukses pemenangan kampanye sebuah partai politikkarena fungsi mobilisasi yang lebih massif.
Perluasan partisipasi publik ini diharapkan dapat memunculkan kembali kekuatan kekuatan sosial non-partai yang selama ini tergerus oleh dominasi kaum oligarki dan sebagai partisipasi yang dimobilisasi, sebab partisipasi yang lahir adalah partisipatif sukarela (otonomi) baik melalui aksi jalanan (offline) dan online.
Fenomena relawan politik merupakan suatu hal yang positif, artinya publik sekarang punya partisipasi politik yang meningkat. Namun demikian keberadaan relawan harus direspon dengan baik dan kehati-hatian agar tidak menimbulkan oklokrasi atau kepemimpinan massa.
Penulis adalah Ketua Umum Organisasi Advokat Peradi Utama